Iklan

iklan

Iklan

,

Iklan

Indonesia Darurat Dokter Spesialis

12 Okt 2022, 14:24 WIB Last Updated 2022-10-12T07:24:23Z



TVBERITANEWS.COM, Jakarta - Sudah 77 tahun Indonesia merdeka, namun masalah kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub-spesialis, dan juga pemeratannya, belum bergeming untuk beranjak membaik. 

Padahal Badan Kesehatan Dunia, WHO telah merekomendasikan anggotanya untuk memenuhi “golden line” atau “garis emas” rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan spesialis, yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk. Apabila sebuah negara berhasil memenuhi “golden line”, maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan. 

Indonesia ada di posisi mana?  

Angka terakhir yang didapatkan dari WHO dan juga World Bank rasio Indonesia ada di 0,46/1000, atau juara “ketiga terendah” di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000. Kalau kita bandingkan dengan Thailand dan Filipina kita masih di bawahnya, apalagi dengan Malaysia dan Singapura.

Berdasarkan UUD 1945–Perubahan keempat, pasal 34 (ayat3) yang berbunyi “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, maka jika dilihat dari perspektif Sistem Kesehatan Nasional, pemahaman “pelayanan kesehatan” itu termasuk sarana, prasarana, peralatan, dokter dan tenaga kesehatan serta sistem pembiyaaan yang baik. Ini adalah “tugas penyelenggara negara”. Sedangkan tugas organisasi profesi adalah menyusun standar profesi dan kompetensi dokter Indonesia serta standar etika profesi.  

Untuk memahami urgensi pemerataan dokter, dapat mengambil contoh pembayaran premi BPJS yang harus ditanggung setiap masyarakat—di mana pun lokasinya—adalah sama. Jika seorang peserta BPJS menderita serangan jantung dan tinggal di Jakarta, maka dia beruntung akan mendapatkan pelayanan maksimal. Namun untuk peserta yang tinggal di Kabupaten Atambua, NTT, akan mengalami masalah besar untuk bisa menikmati pelayanan kesehatan yang setara. Ada persoalan ketidakadilan di sini, semestinya Negara harus hadir dengan prinsip “Equality dan Equity” untuk seluruh rakyat Indonesia.

Saya akan memberikan gambaran bahwa kita saat ini sedang mengalami krisis dokter spesialis dan dokter subspesialis, dan ini mencerminkan sektor kesehatan kita sedang tidak baik-baik saja. Sebagai spesialis jantung, saya akan meninjau masalah ini dari layanan kardiovaskular karena penyakit ini merupakan penyakit yang high volume, high risk dan high cost, dibandingkan dengan penyakit lain di Indonesia. Setiap tahun BPJS menanggung lebih dari Rp 9 triliun untuk menyembuhkan pasien dari penyakit ini. 

Saya ambil contoh penyakit jantung bawaan. Sebagian besar pasien membutuhkan operasi, tidak hanya minum obat. Data terakhir yang saya dapatkan, pasien harus antre selama satu setengah tahun untuk dapat dioperasi di RS Jantung Harapan Kita, sebagai rumah sakit rujukan nasional.  Kebanyakan dari mereka datang dari daerah karena di ibu kota provinsi tidak tersedia dokter spesialis bedah jantung. Kemudian untuk penyakit jantung lainnya pasien membutuhkan waktu sekitar 3 bulan hingga 6 bulan. 

Selama mereka menunggu antrean, mereka selalu dibayangi dengan kematian. Apakah ini bukan sesuatu hal yang sangat tragis? Belum lagi mereka bisa jatuh miskin karena mereka datang ke Jakarta dengan pesawat. Berapa uang yang dihabiskan, untuk transportasi dan akomodasi selama mereka di Jakarta? 

Sekali lagi, harus ada prinsip keadilan dan kesetaraan. Pemerintah yang memiliki mandat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memberikan suatu peralatan dan prasarana yang sama pada semua RS atau provinsi sesuai kriteria RS di daerah, sehingga pasien dapat ditangani disana dan tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta.

Saya mendengar Badan Legislatif DPR baru-baru ini mengambil inisiatif untuk membahas dan menerbitkan RUU Omnibus Kesehatan. Ini perlu kita apresiasi dan cermati karena akan menjadi pintu masuk negara mengambil upaya terobosan untuk mengatasi masalah jumlah dan distribusi dokter sesegera mungkin.

Untuk mengakselerasi produksi dokter spesialis, sudah waktunya DPR mengakomodir berdirinya program pendidikan dokter spesialis dan subspesialis di rumah sakit atau hospital-based training.  Saat ini pendidikan spesialis masih berbasiskan universitas, ini sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013. 

Namun apakah praktek tersebut lazim di negara Amerika, Eropa ataupun Asia lainnya? Tidak demikian. Sebagian besar malah berbasiskan rumah sakit. Mengapa? Karena rumah sakit atau sektor kesehatan serta organisasi profesi yang paham berapa kebutuhan dokter spesialis dan sub- spesialis serta standar profesi serta standard kompetensi dan perkembangan ilmu-teknologi di dunia. 

Misalnya di salah satu negara bagian di AS, California. Gubernur akan tahu dalam waktu 5 tahun ke depan akan butuh berapa dokter spesialis. Dia bisa menghitung dengan mudah, dan merencanakannya secara komprehensif, kemudian memproduksi dokter spesialis melalui hospital-based training, bukan saja melalui universitas.

Pola seperti itu bukan saja dapat mempercepat produksi dokter spesialis-subspesialis, namun juga dapat menjaga kualitas dan menurunkan biaya pendidikan. Pendidikan dokter spesialis- subspesialis di luar negeri tidak harus membayar biaya pendidikan yang amat mahal seperti di Indonesia, tetapi justru mereka diberikan remunerasi (dibayar) oleh rumah sakit tempat mereka bekerja dan belajar. Ini kebijakan yang amat adil dan proporsional.

Lalu masalah pemerataan. Saat ini memang terkesan pemerintah pusat tidak memiliki wewenang penuh untuk dapat melakukan perencanaan jumlah dokter dan penempatannya karena ada kesan hambatan masalah otonomi daerah, dan beberapa hambatan dari dokter spesialis senior yang berpraktek di daerah.

DPR perlu memahami bahwa sudah waktunya wewenang untuk memerintah dan  mengambil keputusan dalam sektor kesehatan dikembalikan sepenuhnya ke pemerintah pusat  agar upaya untuk memproduksi lebih banyak lagi dokter spesialis-subspesialis dan juga  distribusinya dapat dilakukan dengan maksimal tanpa dihambat oleh kepentingan individu.

Saya khawatir jika tidak diselesaikan, maka ASEAN-Charter tahun 2025 akan memaksa Indonesia membuka pintu untuk dokter-dokter asing dari ASEAN berpraktik di daerah di Indonesia yang kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PASLON 01

PASLON 01

PASLON 02